DENPASAR, KAMIS - Kerusakan lingkungan hidup di Pulau Dewata semakin meluas selama 10 tahun terakhir seperti abrasi mencapai 20 persen dari total panjang pantai, lahan kritis mencapai lebih dari 55.000 hektar, hingga naiknya suhu udara mencapai 33 derajat celsius. Penyebab kerusakan ini diperkirakan antara lain dampak dari pembangunan pariwisata sejak 1970-an yang kian tak terkontrol sampai sekarang di seluruh wilayah Bali.
Karenanya, Pemerintah Provinsi Bali didesak segera menyusun aksi mencegah kerusakan tidak semakin parah. Selain itu, aksi ini juga diharapkan mampu menghadapi percepatan perubahan iklim secara menyeluruh.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali Gede Putu Wardana mengatakan, di Denpasar, Kamis (18/12), membenarkan adanya kerusakan tersebut dan tengah menyusun bersama beberapa agenda penanganan keterancaman lingkungan di Bali. Rencana jangka panjang akan segera disusun dan dilaksanakan mulai 2009 hingga 2050.
"Untuk jangka pendeknya kami laksanakan mulai 2009 hingga 2014 antara lain reboisasi hutan, penanganan abrasi pantai, penghijuan kota untuk daerah resapan air. Ini juga melibatkan b eberapa bidang, yakni bidang kehutanan dan pertanian, bidang infrastruktur, bidang perindustrian, serta bidang perhubungan," kata Wardana.
Berdasarkan data Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum, suhu udara di Bali pada bulan November 2008 mencapai 32-33 derajat celcius. Sebelumnya suhu udara tercatat rata-rata berkisar 28-30 derajat celcius. Sementara tinggi permukaan air laut juga mengalami kenaikan permukaan air laut hingga 50 sentimeter dan hampir di semua pantai di Bali.
Sejumlah contoh kerusakan lainnya adalah tererosinya panjang pantai pada 1987 tercatat 51.950 kilometer. Hingga akhira 2008 ini balai mencatat penambahan erosi mencapai 91.070 kilometer atau 20 persen dari total panjang pantai di Bali 436.500 kilometer. Begitu juga intrusi air laut di sejumlah kawasan wisata sudah mencapai lebih dari lebih dari enam meter dari pantai ke darat.
Made Iwan Dewantama, aktivis Conservation International Indonesia menilai penyusunan rencana terjadwal guna mencegah kerusakan yang semakin parah ini relatif terlambat. "Karena dalam konstelasi nasional dan internasional paska UNFCCC di Bali, sudah ada banyak pertemuan yang menindaklanjuti. Di Bali justru baru sekarang dibahas lagi. Ini menunjukkan, selama setahun ini Bali tidak melakukan apa-apa," ujar nya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.